Kamis, 01 November 2012

Budaya Bahasa Jawa Barat

Bahasa Sunda (Basa Sunda), dalam aksara Sunda Baku ditulis ᮘᮞ ᮞᮥᮔ᮪ᮓ) adalah sebuah bahasa dari cabang Melayu-Polinesia dalam rumpun bahasa Austronesia. Bahasa ini dituturkan oleh sekitar 34 juta orang (sekitar 1 juta orang di luar negeri) dan merupakan bahasa dengan penutur terbanyak kedua di Indonesia. Bahasa Sunda dituturkan di hampir seluruh provinsi Jawa Barat, melebar hingga sebagian Jawa Tengah mulai dari Kali Pemali (Cipamali) di wilayah Brebes dan Majenang, Cilacap, di kawasan provinsi Banten dan Jakarta, serta di seluruh provinsi di Indonesia dan luar negeri yang menjadi daerah urbanisasi Suku Sunda.
Dari segi linguistik, bersama bahasa Baduy, bahasa Sunda membentuk suatu rumpun bahasa Sunda yang dimasukkan ke dalam rumpun bahasa Melayu-Sumbawa.

Variasi dalam bahasa Sunda

Peta linguistik Jawa Barat
Dialek (basa wewengkon) bahasa Sunda beragam, mulai dari dialek Sunda-Banten, hingga dialek Sunda-Jawa Tengahan yang mulai tercampur bahasa Jawa. Para pakar bahasa biasanya membedakan enam dialek yang berbeda[1]. Dialek-dialek ini adalah:
  • Dialek Barat
  • Dialek Utara
  • Dialek Selatan
  • Dialek Tengah Timur
  • Dialek Timur Laut
  • Dialek Tenggara
Dialek Barat dipertuturkan di daerah Banten selatan[2]. Dialek Utara mencakup daerah Sunda utara termasuk kota Bogor dan beberapa bagian Pantura. Lalu dialek Selatan adalah dialek Priangan yang mencakup kota Bandung dan sekitarnya. Sementara itu dialek Tengah Timur adalah dialek di sekitar Majalengka. Dialek Timur Laut adalah dialek di sekitar Kuningan, dialek ini juga dipertuturkan di beberapa bagian Brebes,cilacap dan perbatasan purwokerto Jawa Tengah. Dan akhirnya dialek Tenggara adalah dialek sekitar Ciamis.
Bahasa Sunda Kuna adalah bentuk bahasa Sunda yang ditemukan pada beberapa catatan tertulis, baik di batu (prasasti) maupun lembaran daun kering (lontar). Tidak diketahui apakah bahasa ini adalah dialek tersendiri atau merupakan bentuk yang menjadi pendahulu bahasa Sunda modern. Sedikitnya literatur berbahasa Sunda menyulitkan kajian linguistik varian bahasa ini.

Sejarah dan penyebaran

Bahasa Sunda terutama dipertuturkan di sebelah barat pulau Jawa, di daerah yang dijuluki Tatar Sunda/Pasundan. Namun demikian, bahasa Sunda juga dipertuturkan di bagian barat Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Brebes dan Cilacap. Banyak nama-nama tempat di Cilacap yang masih merupakan nama Sunda dan bukan nama Jawa seperti Kecamatan Dayeuhluhur, Cimanggu, dan sebagainya.
Selain itu menurut beberapa pakar bahasa Sunda sampai sekitar abad ke-6 wilayah penuturannya sampai di sekitar Dataran Tinggi Dieng di Jawa Tengah, berdasarkan nama "Dieng" yang dianggap sebagai nama Sunda (asal kata dihyang yang merupakan kata bahasa Sunda Kuna). Seiring mobilisasi warga suku Sunda, penutur bahasa ini kian menyebar bahkan sampai ke luar negeri. Misalnya, di Lampung, di Jambi, Riau dan Kalimantan Selatan banyak sekali warga Sunda menetap di daerah baru tersebut.

Fonologi

Saat ini Bahasa Sunda ditulis dengan Abjad Latin dan sangat fonetis. Ada lima suara vokal murni (a, é, i, o, u), dua vokal netral, (e (pepet) dan eu (ɤ), dan tidak ada diftong. Fonem konsonannya ditulis dengan huruf p, b, t, d, k, g, c, j, h, ng, ny, m, n, s, w, l, r, dan y.
Konsonan lain yang aslinya muncul dari bahasa Indonesia diubah menjadi konsonan utama: f -> p, v -> p, sy -> s, sh -> s, z -> j, and kh -> h.
Berikut adalah fonem dari bahasa Sunda dalam bentuk tabel. Pertama vokal disajikan. (Silahkan isi sesuai keinginan)
Vokal

Depan Madya Belakang
Tertutup
Tengah e ə o
Hampir Terbuka (ɛ) ɤ (ɔ)
Terbuka a

Dan di bawah ini adalah tabel konsonan.
Konsonan

Bibir Gigi Langit2
keras
Langit2
lunak
Celah
suara
Sengau m n ɲ ŋ  
Letap p b t d c ɟ k g ʔ
Desis   s     h
Getar/Sisi   l r      
Hampiran w   j    

Sistem penulisan

Huruf Besar Huruf Kecil Nama Huruf Besar Huruf Kecil Nama
A a
M m
B b
N n
C c
Ng ng
D d
Ny ny
E e
O o
É é
P p
Eu eu
Q q
G g
R r
H h
S s
I i
T t
J j
U u
K k
W w
L l
Y y

Aksara Sunda

Ha Na Ca Ra Ka
Da Ta Sa Wa La
Pa Dha Ja Ya Nya
Ma Ga Ba Tha Nga

Undak-usuk

Karena pengaruh budaya Jawa pada masa kekuasaan kerajaan Mataram-Islam, bahasa Sunda - terutama di wilayah Parahyangan - mengenal undak-usuk atau tingkatan berbahasa, mulai dari bahasa halus, bahasa loma/lancaran, hingga bahasa kasar. Namun, di wilayah-wilayah pedesaan/pegunungan dan mayoritas daerah Banten, bahasa Sunda loma (bagi orang-orang daerah Bandung terdengar kasar) tetap dominan. Di bawah ini disajikan beberapa contoh.

Tempat

Bahasa Indonesia Bahasa Sunda
(normal)
Bahasa Sunda
(sopan/lemes)
di atas .. di luhur .. palih luhur ..
di belakang .. di tukang .. palih pengker ..
di bawah .. di handap .. palih handap ..
di dalam .. di jero .. palih lebet ..
di luar .. di luar .. palih luar ..
di samping .. di sisi .. palih gigir ..
di antara ..
dan ..
di antara ..
jeung ..
antawis ..
sareng ..

Waktu

Bahasa Indonesia Bahasa Sunda
(normal)
Bahasa Sunda
(sopan/lemes)
sebelum saacan, saencan, saméméh sateuacan
sesudah sanggeus saparantos
ketika basa nalika
Besok Isukan Enjing

Lain Lain

Bahasa Indonesia Bahasa Sunda
(normal)
Bahasa Sunda
(sopan/lemes)
lapar Tina Tina
Ada Aya Nyondong
Tidak Embung Alim
Saya Urang Abdi/sim kuring/pribados

Perbedaan dengan Bahasa Sunda di Banten

Bahasa Sunda yang berada di Banten, serta yang berada di daerah Priangan (Garut, Tasikmalaya, Bandung, dll.) memiliki beberapa perbedaan. Mulai dari dialek pengucapannya, sampai beberapa perbedaan pada kata-katanya. Bahasa Sunda di Banten juga umumnya tidak mengenal tingkatan, Bahasa Sunda tersebut masih terlihat memiliki hubungan erat dengan bahasa Sunda Kuna. Namun oleh mayoritas orang-orang yang berbahasa Sunda yang memiliki tingkatan (Priangan), Bahasa Sunda Banten (Rangkasbitung, Pandeglang) digolongkan sebagai bahasa Sunda kasar. Namun secara prakteknya, Bahasa Sunda Banten digolongkan sebagai Bahasa Sunda dialek Barat. Pengucapan bahasa Sunda di Banten umumnya berada di daerah Selatan Banten (Lebak, Pandeglang). Berikut beberapa contoh perbedaannya:
Bahasa Indonesia Bahasa Sunda
(Banten)
Bahasa Sunda
(Priangan)
sangat jasa pisan
dia nyana anjeunna
susah gati hese
seperti doang siga
tidak pernah tilok tara
saya aing abdi
mereka maraneh aranjeuna
melihat noong ningali/nenjo
makan hakan tuang/dahar
kenapa pan naha
singkong dangdeur sampeu
tidak mau embung/endung alim
belakang Tukang Pengker
repot haliwu rebut
Baju Jamang Acuk
Teman Orok Batur
Darah Mokla Geutih
Contoh perbedaan dalam kalimatnya seperti:
Ketika sedang berpendapat:
  • Sunda Banten (Rangkasbitung): "Jeuuuh aing mah embung jasa jadi doang jelma nu kedul!"
  • Sunda Priangan: "Ah abdi mah alim janten jalmi nu pangedulan teh!"
  • Bahasa Indonesia: "Wah saya sangat tidak mau menjadi orang yang malas!"
Ketika mengajak kerabat untuk makan (misalkan nama kerabat adalah Eka) :
  • Sunda Banten (Rangkasbitung): "Teh Eka, maneh arek hakan teu?"
  • Sunda Priangan: "Teh Eka, badé tuang heula?"
  • Bahasa Indonesia: "(Kak) Eka, mau makan tidak?"
Ketika sedang berbelanja:
  • Sunda Banten (Rangkasbitung): "Lamun ieu dangdeur na sabarahaan mang? Tong mahal jasa."
  • Sunda Priangan: "Dupi ieu sampeu sabarahaan mang? Teu kénging awis teuing nya"
  • Bahasa Indonesia: "Kalau (ini) harga singkongnya berapa bang? Jangan kemahalan."
Ketika sedang menunjuk:
  • Sunda Banten (Rangkasbitung): "Eta diditu maranehna orok aing"
  • Sunda Priangan: " Eta palih ditu réréncangan abdi. "
  • Bahasa Indonesia: "Mereka semua (di sana) adalah teman saya"

Meski berbeda pengucapan dan kalimat, namun bukan berarti beda bahasa, hanya berbeda dialek. Berbeda halnya dengan bahasa Sunda Priangan yang telah terpengaruh dari kerajaan Mataram. Hal itu yang menyebabkan bahasa Sunda Priangan, memiliki beberapa tingakatan. Sementara bahasa Sunda Banten, tidak memiliki tingkatan. Penutur aktif bahasa Sunda Banten saat ini, contohnya adalah orang-orang Sunda yang tinggal di daerah Banten bagian selatan (Pandeglang, Lebak). Sementara masyarakat tradisional pengguna dialek ini adalah suku Baduy di Kabupaten Lebak.
Sementara wilayah Utara Banten, seperti Serang, umumnya menggunakan bahasa campuran (multi-bilingual) antara bahasa Sunda dan Jawa.
pupuk balakbak nyabogaan watek

Bilangan dalam bahasa Sunda

Bilangan Lemes
1 hiji
2 dua
3 tilu
4 opat
5 lima
6 genep
7 tujuh
8 dalapan
9 salapan
10 sa-puluh
11 sa-belas
12 dua belas
13 tilu belas
.. ..
20 dua puluh
21 dua puluh hiji
22 dua puluh dua
.. ..
100 sa-ratus
101 sa-ratus hiji
.. ..
200 dua ratus
201 dua ratus hiji
.. ..
1.000 sa-rebu
.. ..
1.000.000 sa-juta
.. ..
1.000.000.000 sa-miliar
.. ..
1.000.000.000.000 sa-triliun
.. ..
1.000.000.000.000.000 sa-biliun

Sejarah Pasundan

Prasasti koleksi Museum Adam Malik Jakarta, ikut memperkuat dugaan adanya kesinambungan Kerajaan Pasundan dengan Kerajaan Mataram Hindu di Jawa Tengah. Bahkan bila dikaitkan dengan temuan - temuan prasasti di Jawa Barat termasuk temuan tahun 90- an, prasasti ini ikut memberi titik terang sejarah klasik di Tanah Pasundan yangselama ini masih gelap.
Kepala Bidang Arkeologi Klasik pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) Dr Endang Sri Hadiati didampingi peneliti arkeologi spesialis Sunda, Richadiana Kartakusuma SU, mengemukakan itu saat ditemui Kompas di ruang kerjanya di Jakarta, Senin (20/2). Keduanya ditemui dalam kaitan dengan Sejarah Klasik Sunda yang selama ini masih gelap, bila dibanding dengan sejarah klasik di Jawa Tengah, yang telah mampu memberikan sejarah lebih runtut.
Bila benar dugaan adanya kesinambungan antara Raja Sunda dan Jawa Tengah ini, maka ini merupakan asumsi sejarah baru dalam perkembangan sejarah nasional selama ini. Endang Sri Hadiati menyatakan, kesinambungan atau adanya dugaan hubungan antara Kerajaan Pasundan dan kerajaan di Jawa Tengah itu disebut-sebut dalam lontar Carita Parahiyangan yang ditemukan Ciamis, Jawa Barat.
Lontar yang ditemukan tahun 1962 ini mengisahkan tentang raja-raja Tanah Galuh Jawa Barat. Salah satu lontar dari Carita Parahiyangan yang belum diketahui angka tahunnya itu di antaranya menyebut nama Sanjaya sebagai pencetus generasi baru yang dikenal dengan Dewa Raja.
Apa yang disebut dalam Carita Parahiyangan, menurut Richadiana, ada kesamaan makna dengan prasasti yang ditemukan di Gunung Wukir, yang berada di antara daerah Sleman dan Magelang (Jawa Tengah). Prasasti batu abad VII yang kemudian disebut sebagai Prasasti Canggal itu secara jelas menyebut, bahwa di wilayah itu telah berdiri wangsa atau kerajaan baru dengan Sanjaya nama rajanya, atau dikenal kemudian sebagai Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. ‘Saya belum berani memastikan adanya kesinambungan Raja Sunda dan Jawa. Yang pasti, Carita Parahiyangan yang berisi tentang cerita raja-raja Galuh itu, salah satunya menyebut nama Sanjaya yang membuat kerajaan baru, dan itu sama persis yang disebutkan dalam prasasti Canggal di Jawa Tengah," tegas Richadiana.
Menurut Richadiana, dugaan itu diperkuat pula dengan prasasti yang dikoleksi oleh Adam Malik (almarhum), yang dikenal dengan prasasti Sragen (ditemukan di Sragen Jateng). Richadiana tidak tahu persis kapan prasasti itu dikoleksi Adam Malik. Yang pasti, prasasti itu isinya juga bisa menjadi fakta adanya dugaan kesinambungan antara Kerajaan Pasundan dan Jawa.
Dua abad hilang Endang Sri Hadiati dan Richadiana mengakui, sejarah Pasundan memang masih gelap, artinya belum mempunyai alur sejarah yang mendekati pasti."Tonggak sejarah klasik Jawa Barat hanya pada 6 buah prasasti Raja Tarumanegara sekitar abad V. Temuan prasati lain tidak mendukung adanya kelanjutan sejarah, karena selisih waktunya berabad- abad," tandasnya. Namun begitu, jika dicermati dan dikaitkan dengan temuan tahun 90-an ini, sebenarnya hanya rentang waktu dua abad saja sejarah Klasik Sunda yang hilang, bila dihitung sejak Raja Tarumanegara, yaitu antara abad ke V - VII.
Richadiana mengatakan, setelah abad Raja Tarumanegara V sampai abad ke VII memang tidak ditemukan prasasti. Namun lontar Carita Parahiyangan mengisahkan adanya kehidupan raja-raja di Tanah Galuh pada abad VII, disusul kemudian adanya temuan prasasti abad VIII Juru Pangambat. Prasasti ini ditemukan di seputar prasasti Tarumanegara, yang mengisahkan tentang adanya seorang pejabat tinggi yang bernama Rakai Juru Pangambat.
Menurut Richadiana, prasasti Huludayueh yang ditemukan di Cirebon tahun 1990 mengisahkan bahwa antara abad 10 sampai 12 hidup seorang Raja bernama Pakuan. Sebelum itu ditemukan prasasti di Tasikmalaya yang dikenal dengan prasasti Rumatak. Prasasti berangka tahun 1.030 ini mengisahkan bahwa pada masa itu hidup seorang Raja Jaya Bupati. ‘Sebenarnya kalau kita runut prasasti-prasasti itu sudah mengindikasikan adanya urutan sejarah klasik Sunda. Tidak ada peminat yang mempelajari sejarah klasik orang Sunda, selain orang Sunda sendiri. Itu yang menyebabkan sejarah Sunda seperti merana,’ tegasnya.


sumber:  ndraexhmalwap.heck.in/sejarah-orang-sunda.xhtml

Asal Usul Orang Sunda(^_^)


A. Mencari sejarah sunda dengan dua perahu

Sudah sejak tahun 1950-an orang Sunda gelisah dengan sejarahnya. Lebih-lebih generasi sekarang, mereka selalu mempertanyakan, betulkah sejarah Sunda seperti yang diceritakan orang-orang tua mereka? Katanya, kekuasaannya membentang sejak Kali Cipamali di timur terus ke barat pada daerah yang disebut sekarang Jawa Barat dengan Prabu Siliwangi sebagai salah seorang rajanya yang bijaksana. Betulkah? Sejarah Sunda memang tidak banyak berbicara dalam percaturan sejarah nasional. "Yang diajarkan di sekolah, paling hanya tiga kalimat," kata Dr Edi Sukardi Ekadjati, peneliti, sejarawan dan Kepala Museum Asia Afrika di Bandung. Isinya singkat saja hanya mengungkap tentang Kerajaan Sunda dengan Raja Sri Baduga di daerah yang sekarang disebut Jawa Barat, lalu runtuh. Padahal, kerajaan dengan corak animistis dan hinduistis ini sudah berdiri sejak abad ke-8 Masehi dan berakhir eksistensinya menjelang abad ke-16 Masehi. Kisah-kisahnya yang begitu panjang, lebih banyak diketahui melalui cerita lisan sehingga sulit ditelusuri jejak sejarahnya. Tetapi ini tidak berarti, nenek moyang orang Sunda di masa lalu tidak meninggalkan sesuatu yang bisa dilacak oleh anak cucunya karena kecakapan tulis-menulis di wilayah Sunda sudah diketahui sejak abad ke-5 Masehi. Ini bisa dibuktikan dengan prasasti-prasasti di masa itu.

Memang peninggalan karya tulis berupa naskah di masa itu hingga kini belum dijumpai. Tetapi setelah itu ditemukan naskah kuno dalam bahasa dan huruf Sunda Kuno, yakni naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian yang selesai disusun tahun 1518 M dan naskah Carita Bujangga Manik yang dibuat akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16. Suhamir, arsitek yang menaruh minat besar dalam sejarah Sunda menjuluki naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian sebagai "Ensiklopedi Sunda".

Naskah-naskah lainnya adalah Cariosan Prabu Siliwangi (abad ke-17 atau awal abad ke-18), Ratu Pakuan, Wawacan Sajarah Galuh, Babad Pakuan, Carita Waruga Guru, Babad Siliwangi dan lainnya.

NASKAH Sanghyang Siksa Kana Ng Karesian dan Carita Bujangga Manik disusun pada zaman Kerajaan Sunda-Pajajaran masih ada dan berkembang. Karena itu, dilihat dari kacamata sejarah, kedua naskah tersebut bisa jadi sumber primer. Sedangkan naskah-naskah lainnya yang disusun setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh termasuk sumber sekunder. Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh pada tahun 1579.

Kedua naskah tersebut ditulis dengan bahasa dan huruf Sunda Kuno. Sedangkan naskah lainnya ada yang ditulis dengan bahasa dan huruf Jawa, bahasa dan huruf Arab, bahasa Jawa-Sunda atau huruf Jawa tapi bahasanya bahasa Sunda seperti naskah Carita Waruga Guru dan bahasa Melayu dan huruf Latin. Sampai tahun 1980-an, pembuatan naskah Sunda masih terus berlangsung meskipun dalam bentuk penyalinan.

Naskah Siksa Kanda Ng Karesian dan Carita Bujangga Manik ditulis di atas daun lontar dan daun palem. Naskah-naskah lainnya ada pula yang ditulis di daun nipah, daun enau atau daun kelapa. Cara menulisnya dikerat/digores dengan menggunakan alat yang disebut peso pagot, sejenis pisau yang ujungnya runcing. Sedangkan naskah-naskah yang lebih muda menggunakan kertas sebagai pengganti daun dan ditulis dengan menggunakan tinta.

Sebagian naskah-naskah itu ada yang tersimpan di museum baik di dalam maupun di luar negeri. Tetapi sebagian besar lainnya disimpan di rumah penduduk atau tempat-tempat tertentu yang dikeramatkan karena naskah dianggap sebagai barang sakral. Pemegangnya juga orang tertentu saja.

Karena cara penyimpanan yang tidak memenuhi syarat, adakalanya naskah rusak berat sehingga tidak bisa terbaca lagi. Naskah di Lengkong, Kuningan misalnya, tahun 1982 masih bisa dibaca. "Tetapi ketika saya datang lagi ke sana pada tahun 1987, naskah sudah tidak bisa direkontruksi lagi," keluh Ekadjati.

Tetapi ada juga naskah-naskah yang sudah tidak disimpan dengan baik karena ahli warisnya merasa tidak mempunyai kepentingan lagi. Di Banjaran, sebuah daerah yang letaknya di Bandung Selatan, naskah yang mereka miliki disimpan di kandang ayam karena rumah sedang dibongkar. Atau ada pula yang menyimpannya di atas langit-langit dapur, sehingga warnanya menjadi kuning kehitam-hitaman.

Dengan cara penyimpanan seperti itu, apalagi berasal dari bahan-bahan yang mudah lapuk, dalam beberapa tahun saja tidak mustahil naskah-naskah tersebut tidak akan berbekas lagi, sebelum diteliti. Setelah terlambat, baru kemudian kita menyadari telah kehilangan sejarah atau kekayaan budaya.

Sebelum pengalaman pahit ini terjadi, Edi S Ekadjati dengan bantuan Toyota Foundation kemudian mengabadikannya dalam bentuk mikro film. Sekarang, sekitar 2000 naskah dari mikro film tersebut dimasukkan ke komputer sehingga suatu saat, bisa dibuat katalog yang lebih lengkap. Ini melengkapi katalog naskah Sunda yang sudah ada sekarang, yang memuat 1904 naskah.

DARI sejumlah naskah tersebut, 95 naskah ditulis dalam huruf Sunda Kuno, 438 ditulis dalam huruf Sunda-Jawa, 1.060 ditulis dengan huruf Arab (Pegon) dan 311 naskah lainnya ditulis dengan huruf Latin. Selain itu masih ada 144 naskah yang menggunakan dua macam aksara atau lebih, yakni Sunda-Jawa, Arab dan Latin.

Dilihat dari jenis karangannya, naskah sejarah hanyalah sekitar 9 persen dan naskah sastra sejarah 12 persen. Sebagian besar lainnya, 25 persen berupa naskah sastra, dan naskah agama 15 persen. Sayang, walaupun jumlahnya banyak, baru sedikit sekali yang diteliti. Eddi S. Ekadjati memperkirakan baru sekitar 100-125 judul saja yang diteliti. Ini berarti, tantangan untuk para peneliti dalam meneliti sejarah Sunda masih sangat besar.

Penelitian tersebut, menurut Edi S. Ekajati, idealnya dilakukan dulu secara filologis karena ilmu yang menggarap naskah itu ialah filologi. Baru kemudian hasil suntingan filolog tersebut dijadikan obyek atau bahan studi ilmu-ilmu lain sesuai dengan jenis isi naskahnya. Sulitnya, sangat sedikit filolog yang tertarik terhadap naskah Sunda.

Belum lagi, lebih sedikit lagi yang bisa membaca huruf Sunda Kuno -- itupun sebagian diantaranya berasal dari disiplin lain. Atja dan Saleh Danasasmita misalnya, keduanya sudah meninggal. Sedangkan lainnya Ayatrohaedi dan Hasan Djafar (arkeologi) lalu Kalsum dan Undang A Darsa. Edi S Ekadjati sebenarnya berlatar belakang sejarah. Tetapi karena minatnya yang besar terhadap sejarah Sunda, akhirnya mengharuskan ia mendalami filologi, sehingga dia acapkali dijuluki "berada di dua perahu". Dia mengakui, karena terbatasnya filolog yang berminat, maka jika seseorang ingin mengetahui sejarah Sunda maka ia harus berada "di dua perahu".

SEJARAH Sunda sangat boleh jadi berbeda dibanding sejarah etnis lain di Indonesia karena daerah ini tidak banyak mewariskan peninggalan berupa prasasti atau candi, tetapi lebih banyak berupa naskah yang kini tersimpan di museum atau tempat-tempat lainnya. Di Perpustakaan Nasional saja misalnya, terdapat 89 naskah Sunda Kuno sedangkan yang sudah dikerjakan barulah tujuh naskah.

Tetapi dari sedikit naskah itu, menurut Edi S. Ekadjati, ternyata sudah memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap sejarah Sunda. Baik mengenai daftar raja yang memerintah dan masa pemerintahannya serta peristiwa-peristiwa sekitar yang terjadi pada saat itu, sehingga walaupun belum secara lengkap sudah bisa disusun raja-raja Sunda yang memerintah selama kurang lebih 800 tahun. Yakni, sejak Sanjaya yang memerintah pada abad ke-8 sampai Raja Sunda terakhir pada tahun 1579. Bahkan dengan naskah Siksa Kanda Ng Karesian yang ditulis pada masa Sri Baduga Maharaja, diketahui beberapa aspek kebudayaan Sunda saat itu. Sri Baduga Maharaja,dalam cerita rakyat diidentikkan dengan Prabu Siliwangi.

Jalan untuk menyingkap tabir sejarah Sunda masih panjang. Di Perpustakaan Nasional saja, masih 82 naskah lagi yang belum digarap. Walau demikian, Edi S Ekadjati optimis, suatu saat sejarah Sunda bisa disusun lebih lengkap dan jelas. Salah satu harapannya diletakkan pada jerih payah Ali Sastramidjaja atau Abah Ali, seorang peminat sejarah Sunda, yang kini sedang menggarap naskah Ciburuy bersama teman-temannya. (Her Suganda)

B. Sejarah Pasundan mulai terkuak
Prasasti koleksi Museum Adam Malik Jakarta, ikut memperkuat dugaan adanya kesinambungan Kerajaan Pasundan dengan Kerajaan Mataram Hindu di Jawa Tengah. Bahkan bila dikaitkan dengan temuan-temuan prasasti di Jawa Barat termasuk temuan tahun 90-an, prasasti ini ikut memberi titik terang sejarah klasik di Tanah Pasundan yang selama ini masih gelap.

Kepala Bidang Arkeologi Klasik pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) Dr Endang Sri Hadiati didampingi peneliti arkeologi spesialis Sunda, Richadiana Kartakusuma SU, mengemukakan itu saat ditemui Kompas di ruang kerjanya di Jakarta, Senin (20/2). Keduanya ditemui dalam kaitan dengan Sejarah Klasik Sunda yang selama ini masih gelap, bila dibanding dengan sejarah klasik di Jawa Tengah, yang telah mampu memberikan sejarah lebih runtut.

Bila benar dugaan adanya kesinambungan antara Raja Sunda dan Jawa Tengah ini, maka ini merupakan asumsi sejarah baru dalam perkembangan sejarah nasional selama ini. Endang Sri Hadiati menyatakan, kesinambungan atau adanya dugaan hubungan antara Kerajaan Pasundandan kerajaan di Jawa Tengah itu disebut-sebut dalam lontar Carita Parahiyangan yang ditemukan Ciamis, Jawa Barat.
Lontar yang ditemukan tahun 1962 ini mengisahkan tentang raja-raja Tanah Galuh Jawa Barat. Salah satu lontar dari Carita Parahiyangan yang belum diketahui angka tahunnya itu di antaranya menyebut nama Sanjaya sebagai pencetus generasi baru yang dikenal dengan Dewa Raja.

Apa yang disebut dalam Carita Parahiyangan, menurut Richadiana, ada kesamaan makna dengan prasasti yang ditemukan di Gunung Wukir, yang berada di antara daerah Sleman dan Magelang (Jawa Tengah). Prasasti batu abad VII yang kemudian disebut sebagai Prasasti Canggal itu secara jelas menyebut, bahwa di wilayah itu telah berdiri wangsa atau kerajaan baru dengan Sanjaya nama rajanya, atau dikenal kemudian sebagai Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.

"Saya belum berani memastikan adanya kesinambungan Raja Sunda dan Jawa. Yang pasti, Carita Parihiyangan yang berisi tentang cerita raja-raja Galuh itu, salah satunya menyebut nama Sanjaya yang membuat kerajaan baru, dan itu sama persis yang disebutkan dalam prasasti Canggal di Jawa Tengah," tegas Richadiana.

Menurut Richadiana, dugaan itu diperkuat pula dengan prasasti yang dikoleksi oleh Adam Malik (almarhum), yang dikenal dengan prasasti Sragen (ditemukan di Sragen Jateng). Richadiana tidak tahu persis kapan prasasti itu dikoleksi Adam Malik. Yang pasti, prasasti itu isinya juga bisa menjadi fakta adanya dugaan kesinambungan antara Kerajaan Pasundan dan Jawa.

Dua abad hilang
Endang Sri Hadiati dan Richadiana mengakui, sejarah Pasundan memang masih gelap, artinya belum mempunyai alur sejarah yang mendekati pasti.

"Tonggak sejarah klasik Jawa Barat hanya pada 6 buah prasasti Raja Tarumanegara sekitar abad V. Temuan prasati lain tidak mendukung adanya kelanjutan sejarah, karena selisih waktunya berabad-abad," tandasnya.
Namun begitu, jika dicermati dan dikaitkan dengan temuan tahun 90-an ini, sebenarnya hanya rentang waktu dua abad saja sejarah Klasik Sunda yang hilang, bila dihitung sejak Raja Tarumanegara, yaitu antara abad ke V - VII.

Richadiana mengatakan, setelah abad Raja Tarumanegara V sampai abad ke VII memang tidak ditemukan prasasti. Namun lontar Carita Parahiyangan mengisahkan adanya kehidupan raja-raja di Tanah Galuh pada abad VII, disusul kemudian adanya temuan prasasti abad VIII Juru Pangambat. Prasasti ini ditemukan di seputar prasasti Tarumanegara, yang mengisahkan tentang adanya seorang pejabat tinggi yang bernama Rakai Juru Pangambat.

Menurut Richadiana, prasasti Huludayueh yang ditemukan di Cirebon tahun 1990 mengisahkan bahwa antara abad 10 sampai 12 hidup seorang Raja bernama Pakuan. Sebelum itu ditemukan prasasti di Tasikmalaya yang dikenal dengan prasasti Rumatak. Prasasti berangka tahun 1.030 ini mengisahkan bahwa pada masa itu hidup seorang Raja Jaya Bupati.

"Sebenarnya kalau kita runut prasasti-prasasti itu sudah mengindikasikan adanya urutan sejarah klasik Sunda. Tidak ada peminat yang mempelajari sejarah klasik orang Sunda, selain orang Sunda sendiri. Itu yang menyebabkan sejarah Sunda seperti merana,"tegasnya. (top)
KOMPAS, Selasa, 21-02-1995. Hal. 16
PUSAT INFORMASI KOMPAS
Palmerah Selatan 26-2

PENJELASAN PRASASTI HULU DAYEUH
 
Sejarah Jawa Barat hingga kini memang masih agak gelap, bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Nusantara. Oleh karena itu setiap temuan arkeologi dari Jawa Barat senantiasa mengundang perhatian dan rasa penasaran para pakar kebudayaan yang menggumuli masalah sejarah Sunda (Jawa Barat).

Untuk itu saya mengemukakan beberapa hal yang berkenaan dengan Prasasti Hulu Dayeuy yang diungkapkan oleh Bapak Muchtar MS (Kepala Seksi Kebudayaan, Kndep Dikbud Cirebon) kepada wartawan yang telah dimuat beberapa waktu lalu dalam Kompas, Selasa 31 Desember 1991 (pada halaman 12, kolom 1-3).

Prasasti Hulu Dayeuh tersebut bukan berasal dari (Predu) Ratudewata, tetapi kemungkinan ada hubungannya dengan Jayadewata (Raja Pakwan-Pajajaran abad ke-15 Masehi). Raja ini sama dengan SriBaduga Maharaja atau Raden pamanah Rasa alias Sang Udubasu di dalam Carita Parahiyangan, sesuai dengan yang disebutkan dalam rasasti Hulu Dayeuh itu sendiri (baris ke-11). Tetapi belum berarti bahwa prasasti tersebut dikeluarkan oleh Raja Jayadewata.

Perlu kiranya diketahui bahwa Jayadewata tidak sama dengan Ratudewata. Kedua raja ini memerintah di Pakwan-Pajajaran tetapi personilnya berbeda. Bila Jayadewata memerintah pada tahun 1482-1521 Masehi (39 tahun) maka (Prebu) Ratudewata memegang tampuk Pakwan-Pajajaran tahun 1535-1543 Masehi (8 tahun).

Bagian atas batu yang diduga mencantumkan pertanggalan prasasti tesebut patah, dan aksaranya pun turut hilang serta sebagian lagi ada yang akur, sehingga kronologi prasasti belum dapat diketahui dengan pasti. Keausan aksara itu mungkin karena semula letak batu prasastinya terbalik dengan posisi bagian atas tertanam dalam tanah, namun kini batu tesebut telah diletakkan sebagaimana mestinya.

Bentuk hurufnya diketahui beraksasa Pasca Pallava, mirip dengan aksara dalam prasasti-prasasti masa Kayuwangi-Balitung (abad ke 9-10 Masehi), bukan Kayuwanci-Belitung seperti berita terdahulu.

Demikianlah ralat ini, dan sama sekali tidak dimaksudkan menyinggung perasaan Bapak Muchtar MS, hanya sekadar membenarkan apa yang mungkin dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, dalam menginterpretasikan sejarah Jawa Barat, khususnya yang berkaitan dengan Prasasti Hulu Dayeuh.

Dalam hal ini saya merasa bertanggungjawab karena saya yang mengatakan keterangan di atas secara lisan kepada Bapak Muchtar MS ketika mengadakan penelitian arkeologi di daerah Sumber, Cirebon.

Sumber :
Dr Edi S. Ekadjati, KOMPAS, Selasa, 01-02-1994. Hal. 20. PUSAT INFORMASI KOMPAS, Palmerah Selatan 26-28, JAKARTA 10270
KOMPAS, Selasa, 21-02-1995. Hal. 16
Richadiana Kartakusuma, Staf Peneliti Bidang Arkeologi Klasik, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.